DAKWAH BILISANIL
HAL;
USAHA PEMBERDAYAAN UMMAT
Oleh
: Muhammad Zaini, S.Kom.I
Dosen
: Prof. DR. M. Yunan Yusuf
Mata
Kuliah : Sejarah dan Perkembangan Ilmu Dakwah
Sabtu,
28 Januari 2012
Pascasarjana
Magister Studi Islam
UNIVERSITAS
ISLAM AS-SYAFI’IYYAH (UIA) JAKARTA
A.
PENDAHULUAN
Apabila kita men-tadabburi Al-Quran dan As-Sunnah, maka
sesungguhnya kita akan mengetahui bahwa dakwah memiliki peran dan fungsi yang
utama, sentral, strategis dan menentukan. Keindahan dan kesesuaian Islam dengan
perkembangan zaman, baik dalam sejarah maupun praktiknya, sangat ditentukan
oleh upaya dan gerakan dakwah yang dilakukan oleh umatnya.[1]
Melalui dakwah pula Rasulullah Muhammad Saw, mampu melakukan perubahan terhadap
kehidupan manusia, dari tradisi jahiliyah, menjadi manusia yang berperadaban.
Namun realitas hari ini, sebagian umat sudah semakin jauh dari nilai-nilai
Islam, bahkan telah terjadi krisis kehidupan yang multidimensi, terutama krisis spiritual (ruhiyah). Jauh dari keimanan dan
ketaatan, justru akrab dengan kemaksiatan, bahkan berada pada kondisi kemiskinan dan kemelaratann.
Namun di sisi lain, jika kita cermati, dewasa ini dakwah pun semakin subur, namun belum mampu
melakukan perubahan yang signifikan. Mungkin dakwah yang disampaikan hanya sebatas
ucapan, pelepas kewajiban atau melahirkan totonan bukan tuntunan. Mungkin belum
mengena apa yang menjadi kebutuhan ril dari apa yang dihadapi umat.
Oleh karena itu, dakwah sejatinya harus menjadi solusi, yang dilakukan dengan pendekatan yang integral, sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah Saw. Melihat realitas yang dihadapi umat Islam, maka kita semua perlu mengambil bagian dan meningkatkan ikhtiar dakwah secara serius. Diantara gerakan dakwah perlu kita kembangkan, dengan pendekatan bilisanil hal, usaha dan upaya pemberdayaan ekonomi umat, melalui perencanaan yang terorganisir sesuai kebutuhan umat. Namun demikian kita tidak membenturkan atau melakukan dikhotomi dengan pendekatan dakwah berupa lisan, dalam pengertian tabligh, ceramah atau khutbah. Akan tetapi bagaimana upaya gerakan dakwah kita saling melengkapi, menjadi bagian terpadu yang tidak terpisah, sekaligus mampu memberikan solusi dari kebutuhan umat yang dihadapi, agar gerakan dakwah membawa perubahan yang signifikan, menuju kehidupan Islami yang diridhai Allah Swt.
Oleh karenanya, dalam kesempatan ini, penulis mencoba untuk membuat suatu makalah dengan pembahasan yang berjudul; “Dakwah Bilisanil Hal; Usaha Pemberdayaan Ummat.
Oleh karena itu, dakwah sejatinya harus menjadi solusi, yang dilakukan dengan pendekatan yang integral, sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah Saw. Melihat realitas yang dihadapi umat Islam, maka kita semua perlu mengambil bagian dan meningkatkan ikhtiar dakwah secara serius. Diantara gerakan dakwah perlu kita kembangkan, dengan pendekatan bilisanil hal, usaha dan upaya pemberdayaan ekonomi umat, melalui perencanaan yang terorganisir sesuai kebutuhan umat. Namun demikian kita tidak membenturkan atau melakukan dikhotomi dengan pendekatan dakwah berupa lisan, dalam pengertian tabligh, ceramah atau khutbah. Akan tetapi bagaimana upaya gerakan dakwah kita saling melengkapi, menjadi bagian terpadu yang tidak terpisah, sekaligus mampu memberikan solusi dari kebutuhan umat yang dihadapi, agar gerakan dakwah membawa perubahan yang signifikan, menuju kehidupan Islami yang diridhai Allah Swt.
Oleh karenanya, dalam kesempatan ini, penulis mencoba untuk membuat suatu makalah dengan pembahasan yang berjudul; “Dakwah Bilisanil Hal; Usaha Pemberdayaan Ummat.
B.
PENGERTIAN
DAKWAH BILISANIL HAL
Secara etimologis Dakwah bilisanail-hal merupakan penggabungan dari
tiga kata, yaitu kata da’wah, lisân dan al-hâl. Kata da’wah
berasal dari akar kata (da’a, yad’u, da’watan) yang berarti memanggil,
menyeru. Kata lisan (lisan) berate bahasa, sedangkan kata al-hâl
berarti hal atau keadaan. Lisânul-hal mempunyai arti yang menunjukkan
realitas sebenarnya. Jika ketiga kata tersebut digabungkan, maka da’wah
bilisânil-hâl mengandung arti “memanggil, menyeru dengan bahasa keadaan”
atau menyeru, mengajak dengan perbuatan nyata. Pengertian ini sejalan dengan
ungkapan hikmah: lisânul-hâl afshahu min lisânil maqâl (bahasa keadaan
lebih fasih (berpengaruh) disbanding bahasa lidah).[2]
Secara terminologis, dakwah mengandung pengertian; mendorong
manusia agar berbuat kebajikan dan menurut kepada petunjuk, menyeru mereka
berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka
mendapat kebahagiaan dania dan akhirat”.[3]
Dengan demikian yang dimaksud dengan da’wah bilisânil-hâl adalah;
“memanggil, menyeru ke jalan Allah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat dengan
menggunakan bahasa keadaan manusia yang didakwahi”, atau “memanggil, menyeru ke
jalan Allah untuk kebahagiaan manusioa di dunia dan akhirat dengan perbuatan
nyata, yang sesuai dengan keadaan manusia”. Bahasa keadaan dalam konteks da’wah
bilisânil-hâl adalah segala hal yang berhubungan dengan keadaan mad’u baik
fisiologis maupun psikologis. Prof. Dr. Yunan Yusuf dalam bukunya “dakwah bil
hal”, mengungkapkan bahwah da’wah bilisânil-hâldipergunakan untuk
merujuk kegiatan dakwah melalui aksi atau tindakan atau perbuatan nyata.[4]
Istilah lain lain
dalam pengertian da’wah bilisânil-hâl dalam kajian ilmu dakwah semakna
dengan da’wah bi-ahsanil-‘amal[5],
yang berarti berdakwah dengan cara sebaik-baiknya amal atau dengan
pendekatan yang terbaik.
Pembahasan da’wah
bilisânil-hâl dalam kajian ilmu dakwah bersandingan dengan pengertian da’wah
bi-ahsanil-‘qawl, yang bermakna berdakwah dengan cara sebaik-baiknya
perkataan atau dengan pendekatan yang terbaik. Kedua istilah ini merupakan
deskripsi dari aspek pendekatan dakwah, yang memiliki bentuk dakwah dan focus
kegiatan dakwah. Untuk lebih jelasnya dapat dipahami dari tabel berikut ini:[6]
PENDEKATAN DAKWAH
(Pohon)
|
BENTUK DAKWAH
(Dahan)
|
FOKUS KEGIATAN DAKWAH
(Ranting)
|
Da’wah Bi-Ahsanil-‘Qawl
|
Tablîgh Islam (transmisi dan difusi)
|
Khithâbah dîniyyah
Khithâbah ta’tsîriyah
Kitâbah
Futûhât
Seni Islam
|
Irsyâd Islam (internalisasi dan transmisi)
|
Ibda bi nafs; dzikir al-lâh, du’â wiqâyah al-nafs, tazkiyyah
al-nafs, shalat dan shaum.
Ta’lîm, taujîh, mau’izhah dan nashihah.
Istisyfâ.
|
|
Da’wah Bi-Ahsanil-‘Amal
|
Tadbîr Islam (transformasi=pelembagaan dan pengelolaan kelembagaan
Islam)
|
Pengelolaan Majelis Ta’lim
Pengelolaan Masjid
Pengelolaan Organisasi Kemasyarakatan
Pengelolaan Organisasi Politik Islam
Pengelolaan Haji, Umrah Dan Ziarah (HUZ)
Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS)
LSM Dakwah
|
Tathwîr/ Tamkîn Islam (transformasi=pemberdayaan)
|
Pemberdayaan Sumber Daya Insani (SDI)
Pemberdayaan Lingkungan Hidup
Pemberdayaan Ekonomi Umat
|
C.
TELADAN DAKWAH
BILISANIL HAL
Rasulullah Saw adalah suri tauladan kita, beliau telah menyampai
risalah Islam dengan pendekatan yang kongkret dan sentuhan yang membawa
perubahan umat. Oleh karena itu, dalam memahami prinsip da’wah bilisânil-hâl
kita dapat meneladaninya dari sirah kehidupan pada masa Nabi Muhammad Saw.
Dalam sirah nabawiyah, diterangkan bahwa ketika Rasulullah
saw dan shabat tercintanya Abu Bakar ash-Shiddiq, telah sampai di kota
Madinahtepatnya di satu desa Quba. Disanalah Rasul disambut dengan segala suka
cita dan kegembiraan, karena orang yang dicintai mereka telah dating. Segala
bentuk penghormatan dan kecintaan, mereka ungkapkan dengan cara masing-masing.
Ada yang membawa makanan, ada yang membawa Rasul dan Abu Bakar agar menginap di
rumah mereka. Semua penghormatan itu disikapi oleh rasul dengan bijaksana,
dengan tidak membuat kecilnya hati para sahabat anshar yang lain.
Tentang ajakan menginap,Rasulullah memecahkannya dengan cara yang
bijaksana. Beliau mengatakan, “terima kasih atas segala penghormatan yang
kalian sampaikan kepada kami, tetapi biarlah si Qoshwa’ (onta putih
kesayangan Rasul) yang menentukannya. Rasul menyuruh qoshwa’ berjalan
dan kemudian Qoshwa’ berhenti di sebidang tanah milik anak yatim dari
bani najjar di bawah asuhan Mu’az bin Afra’. Akhirnya sebidang tanah itu
dibeli oleh rasul atas bantuan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan disitulah para Rasul
dan para shabat membangun masjid pertama. Semua sahabat turun tangan dengan
antusias melakukan apa yang bias dilakukan, mengumpulkan batu, mencari pelepah
kurma untuk dinding dan sebagainya, termasuk Rasulullah sendiri. Namun karena
rasa cinta kepada Rasul, seorang sahabat mencegah Rasulullah agar jangan
mengikut serta mengangkat batu. Namun rasulullah berkata; “Ya sahabatku, batu
yang ini biarlah aku yang mengangkatnya, dan kamu mencari batu yang lain”.
Kisah ini menunjukkan betapa rasulullah Saw ingin memperlihatkan bahwa seorang
pemimpin harus senantiasa bersama umat, sakit dan senang. Karena kemasygulan
sahabat akan kisah ini, seorang penyair melukiskannya seperti berikut;
Betapa kita hendak duduk menganggur sedangkan Rasul asyik bekerja,
sungguh itu adalh perbuatan sesat, yang menyesatkan diri sendiri. Tidak ada
arti hidup (dunia) ini, kecuali hidup diakhirat nanti. Ya Allah beri Rahmat
kaum Anshar dan kaum Muhajirin”.
Kemudian rasulullah membalas; “Benar, tidak ada rtinya hidup di
dunia ini, kecuali hidup di akhirat. Ya Allah, kucurkan rahmat kepada kaum
Muhajirin dan kaum Anshar”.[7]
Perkataan rasul di atas, “yang ini biarlah aku yang mengangkat, dan
kamu cari yang lain”, menunjukkan betapa rasul ingin memperlihatkan bahwa
metude penggugah orang lain dengan cara keteladanan adal sesuatu yang sangat
ampuh (da’wah bilisânil-hâl).[8]
Kemudian langkah kongret Rasulullah Swt dalam da’wah bilisânil-hâl
setelah sampai di Madinah adalah mendirikan masjid, yang kita kenal dengan
masjid Nabawi, yang berfungsi sebagai pusat Tadbîr Islam (pelayanan umat
Islam) dan Tahtwîr/ Tamkîn Islam (pemberdayaan umat Islam),
selain berfungsi sebagai sebagai tablîghul Islam (menyampaikan ajaran
Islam/Pengajaran) dan Irsyâdul Islam (bimbingan Islam/pembinaan).
da’wah bilisânil-hâl yang
dihadapkan ke luar (non-muslim) oleh Rasulullah Saw untuk pertama kalinya
adalah ketika terjadi perang hudaibiyah, dimana Rasul dan para sahabatnya tidak
diizinkan haji dan umrah pada tahun itu. Ketika para sahabat merasa keberatan
untuk mengalah kepada orang Quraisy dan enggan untuk bertahallul dan mencukur
rambut. Rasul terlebih dahulu melakukannya tanpa berbicara, dan hal itu atas
sarannya Ummi Salamah. Dan akhirtnya satu persatu para sahabat mengikuti rasul.
Pada tahun berikutnya Rasul dengan sekitar 2000 orang sahabat melakukan umtrah
pertama yang dinamakan dengan “Umratul Qadha”, dengan meninggalkan senjata
tajam diluar Mekah, mereka memperlihatkan keteladanan, kekompakan, kerapian,
kebersihan dan kebersamaan dalam segalanya, dan hal itu merupakan daya tarik
yang sangat baik bagi penduduk mekkah, sehingga banyak diantara mereka
menyatakan diri untuk ikut dengan agama yang dibawa oleh Nabi[9]
D.
APLIKASI DAKWAH
BILISANIL HAL; USAHA PEMBERDAYAAN UMAT
Dalam pembahasan ini, penulis akan mendeskripsikan Aplikasi Dakwah
Bilisanil Hal; Usaha Pemberdayaan Umat dalam aspek Tadbîr Islam (pelayanan
umat Islam) dan Tathwîr/ Tamkîn Islam (pemberdayaan umat Islam),
secara global.
a.
Tadbîr
Islam (pelayanan umat
Islam)
Tadbîr menurut bahasa
berarti pengurusan, pengelolaan (manajemen). Menurut istilah adalah kegiatan
dakwah dengan pentransformasian ajaran Islam melalui kegiatan aksi amal shaleh
berupa penataan lembaga-lembaga dakwah dan kelembagaan Islam. Fungsi-fungsi
manajemen merupakan karakteristik menonjol dalam dakwah tadbîr. Adanya
oraganisasi dakwah sebagai wadah, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan evaluasi dakwah, diantaranya aspek-aspek yang terintegrasi dan
tersistematisasi dalam dakwah.[10]
Tadbîr Islam,
di dalamnya berisikan pelembagaan dan pengelolaan kelembagaan Islam, seperti
majelis ta’lim, takmir masjid, organisasi kemasyarakatan Islam, organisasi
siyasah islami, wisata religius sepeti HUZ (Haji, Umrah dan Ziarah), sumber
dana Islam berupa ZIS (Zakat, Infaq dan shadaqah) dan LSM Dakwah. Kegiatan d
atas termasuk pada wilayah Manajemen Dakwah (MD).[11]
Pengertian Tadbîr
dalam formulasi sebagai transformasi pada dasarnya mengacu pada penjelasan yudabbiru.
Kata ini dimuat dalam beberapa ayat Al-Quran diantaranya dalam QS. Yunus [10]:
31, QS. Ar-ra’du [13]: 2 dan QS. As-Sajdah [32]: 5.[12]
b.
Tathwîr/
Tamkîn Islam (pemberdayaan
umat Islam)
Tathwîr menurut bahasa
berarti pengembangan. Menurut istilah berarti pengembangan dakwah dengan
pentransformasian ajaran Islam melalui aksi amal shaleh, berupa pemberdayaan (taghyîr,
tamkîn) sumber daya manusia, sumber daya lingkungan, ekonomi umat dengan mengembangkan
pranata-pranata social, ekonomi dan lingkungan atau pengembangan kehidupan
muslim dalam aspek-aspek kultur universal. Dakwah Tathwîr diantaranya dapat dilakukan
melalui pendidikan dan pelatihan pemberdayaan umat, pendampingan desa
tertinggal, pengembangan ekonomi syariah, pengadaan sarana-sarana pendidikan,
keagamaan dan lain-lain.[13]
Tathwîr identik dengan tamkîn
dalam arti pembengunan masyarakat, di dalammnya berisikan pemberdayaan SDI
(Sumber Daya Insani), lingkungan hidup dan ekonomi umat, disebut pula sebagai
ilmu Pengembangan Masyarakat Islam (PMI). Pengertian tamkîn dalam
formulasi sebagai transformasi pada dasarnya mengacu pada penjelasan kata makkana.
Kata tamkîn dar kata makkana sebagaimana tersurat di dalam
Al-Quran; QS. Al-A’raf [7]: 10 dan QS. Al-Kahfi [18]: 84.[14]
E.
UPAYA PROSES
PEMBERDAYAAN UMAT
Menurut
M Yunan Yusuf, bila kita ingin melakukan proses pemberdayaan umat melalui
dakwah Islam, maka sekurang-kurangnya ada lima langkah isu dakwah yang harus diambil, yaitu:
1. Materi dakwah sebagai ajakan atau seruan kepada Islam dan petunjuk
Allah harus dikemas secara sistemik dalam pemahaman setiap individu dan
masyarakat muslim. Pemahaman sistemik ini dapat dibangun melalui penghayatan
dan pengamalan ajaran Islam secara holistik dan komprehensif dari berbagai
aspek ajaran Islam yang mencakup aspek aqidah, aspek ibadah, aspek akhlak, dan
aspek mu'amalah. Selama ini pemahaman tentang berbagai aspek ajaran Islam
tersebut ditangkap secara parsial dan terpilah-pilah, tidak utuh.
Secara sistemik keempat dimensi ajaran tersebut seharusnya merupakan kesatuan dan kebulatan utuh, yang terpisahkan hanya dalam tataran diskursus akademik, bukan dalam tataran praktis. Oleh sebab itu, adalah suatu kezaliman bila seseorang berbuat semata-mata hanya atas perimbangan halal dan haram dengan mengabaikan sama sekali aspek al-husn (kebaikan) dan aspek al-qubh (keburukan), atau menyingkirkan sama sekali sisi al-mahmudah (terpuji) dan al-mazmumah (tercela).
Secara sistemik keempat dimensi ajaran tersebut seharusnya merupakan kesatuan dan kebulatan utuh, yang terpisahkan hanya dalam tataran diskursus akademik, bukan dalam tataran praktis. Oleh sebab itu, adalah suatu kezaliman bila seseorang berbuat semata-mata hanya atas perimbangan halal dan haram dengan mengabaikan sama sekali aspek al-husn (kebaikan) dan aspek al-qubh (keburukan), atau menyingkirkan sama sekali sisi al-mahmudah (terpuji) dan al-mazmumah (tercela).
2. Dakwah pada hakikatnya adalah proses yang menghidupkan atau yang
memberdayakan, baik terhadap individu maupun masyarakat, maka harus ada upaya
untuk melakukan itu. Di era otonomi daerah seperti sekarang ini, dakwah harus
ditujukan kepada upaya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat secara bersama.
Upaya tersebut dapat dilakukan melalui upaya-upaya menumbuhkan kreatifitas
untuk meningkatkan taraf hidup, baik secara individu maupun keluarga, atau
secara bersama-sama.
Inilah yang disebut dengan konsep dakwah bil hal, melalui pengembangan industri kecil dan menengah, yang dalam pertumbuhan konkritnya ditunjukkan dengan pengembangan Baitul Mal wat Tamwil di sentra-sentra kegiatan pengajian dan majlis taklim. Di samping itu, juga melalui penumbuhan gerakan menyimpan dan menabung secara massal, yang produktivitasnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup tersebut.
Inilah yang disebut dengan konsep dakwah bil hal, melalui pengembangan industri kecil dan menengah, yang dalam pertumbuhan konkritnya ditunjukkan dengan pengembangan Baitul Mal wat Tamwil di sentra-sentra kegiatan pengajian dan majlis taklim. Di samping itu, juga melalui penumbuhan gerakan menyimpan dan menabung secara massal, yang produktivitasnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup tersebut.
3. Merumuskan materi dakwah yang berkaitan dengan ajakan dan dorongan
kepada masyarakat agar berpartisipasi dalam proses pembangunan daerah dan
menggali potensi daerah sendiri untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat
daerah tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia di daerah, di samping memperbesar potensi daerah tersebut untuk
mengembangkan diri, yang kemudian diharapkan bisa mengatasi problema yang selalu
timbul dalam bentuk kerentanan hubungan antar etnis, polemik pencuatan issu
putera daerah, dan sebagainya.
Peningkatan kualitas SDM menjadi sangat strategis dikemas dalam tema-tema dakwah bila dikaitkan dengan tentangan ke depan.
Peningkatan kualitas SDM menjadi sangat strategis dikemas dalam tema-tema dakwah bila dikaitkan dengan tentangan ke depan.
4. Dakwah tampil dengan wajah sejuk dan damai dengan melalui penekanan
peningkatan kualitas akhlak mulia yang termanifestasi dalam kehidupan
sehari-hari. Secara esensial dakwah semestinya muncul dengan pendekatan
mengajak, bukan menghakimi, apalagi bernuansa provokatif. Tema-tema yang
berkaitan dengan ukhuwah Islamiyah atau kesetiakawanan sosial haruslah menjadi
agenda utama. Amar makruf dan Nahyi Munkar sebagai bagian esensial dakwah perlu
ditampilkan secara ramah dan menyejukkan.
Dengan demikian, esensi dari diturunkannya Islam melalui pengutusan Rasulullah SAW untuk menciptakan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin) bukan berhenti pada slogan. Ia haruslah terwujud dalam kenyataan. Dengan kemasan dakwah seperti itu, berbagai problema yang timbul di tengah masyarakat dapat diatasi dengan pendekatan persuasif dan penuh kedamaian.
Dengan demikian, esensi dari diturunkannya Islam melalui pengutusan Rasulullah SAW untuk menciptakan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin) bukan berhenti pada slogan. Ia haruslah terwujud dalam kenyataan. Dengan kemasan dakwah seperti itu, berbagai problema yang timbul di tengah masyarakat dapat diatasi dengan pendekatan persuasif dan penuh kedamaian.
5. Dakwah juga harus berbicara tentang tema memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa. Kesadaran akan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus selalu disegar-bugarkan, harus ditumbuh-suburkan secara terus menerus.
Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa peletak dasar dari berdirinya Republik
ini pada hakikatnya berdiri di atas kesadaran tersebut.[15]
F.
URGENSI DAN
APLIKASI DAKWAH BILISANIL HAL DALAM DINAMIKA KEHIDUPAN
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan da’wah bilisânil
hâl dalam dimensi Tadbîr dan tathwîrul Islâm, dengan
stressing pengelolaan lembaga ZIS dalam menunjang perjuangan dakwah dan
pemberdayaan serta pengembangan umat, yang dihubungkan dengan pengalaman
penulis.
Kehadiran Rasulullah Muhammad Saw membawa perubahan fundamental
bagi bangsa Arab dan tentunya untuk kehidupan seluruh umat manusia. Beliau
menyadari betapa umat saat itu pada dasarya membutuhkan dakwa Islam dan beliau
pun melaksanakannya dengan penuh keihklasanan, agar kehidupan manusia mendapat
hidayah dan taufik Allah Swt serta menjalan nilai-nilai yang Islami. Ikhtiar
beliau telah berhasil mengokohkan pondasi tauhid dengan manifestasi ketaatan
dalam beribadah kepada Allah Swt, sehingga terbentuklah barisan pendukung
dakwah yang diapresiasi oleh allah Swt sebagai generasi khairu ummah (generasi
ummat yang terbaik). Sehingga Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, di bawah
naungan risalah Islam.
Tentu keberhasilan Rasulullah Saw, karena mampu dan optimal dalam
melakukan pendekatan dakwah secara integral. Tidak sebatas ucapan perintah dan
mengajak, namun beliau memberikan keteladan yang baik (uswah hasanah)
sehingga mudah dipahami dan diamalkan.
Diantara kreasi dakwah
Rasulullah Saw adalah mampu menanamkan kesadaran umat Islam untuk peduli
terhadap orang lain dalam segala hal, khususnya dalam pemerataan keadilan dan
kesejahteraan social, berupa gerakan penunaian zakat, infaq dan shadaqah, dalam
mendukung pengembangan dakwah.
Di dalam sirah nabawiyah kita dapat melihat sebagian sahabat
Rasulullah Saw yang selalu gemar menginfakkan hartanya di jalan Allah Swt,
untuk mendukung dakwah. Baik untuk membebaskan para budak yang telah memeluk
Islam, maupun memberikan makan dan minum para mustadh’afin serta
membangun sarana umum. Diantara para dermawan saat itu adalah Abu Bakar
Ash-Shiddik, Utsman Bin Affan, Abdurrahman Bin ‘Auf, bahkan istri beliau
sendiri Khadijah, dan lain-lain. Kemudian pada masa khulafaurrasyidin, untuk
mengelola potensi ZIS, ghanimah dan Jizyah, maka didirikanlah badan khus yang
bernama baitul mâl, agar memudahkan dalam penghimpunan dan penyaluran.
Oleh karena itu, dalam menunjang keberlangsungan dan ekspansi dakwah,
maka keberadaan para dermawan dan ZIS-nya sangat dibutuhkan. Oleh karenanya perlu
dikelola oleh lembaga khusus yang professional. Apa lagi adanya realitas
kesenjangan umat Islam; antara para aghniya` dan fuqara`.
Jika kita merujuk pada teori pendekatan dakwah di atas, dalam
konteks ke-Indonesiaan kesadaran dakwah telah terorganisir dengan baik dalam
suatu wadah oraganisasi gerakan dakwah, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama,
Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Washliyah, termasuk Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia dan lain-lain. Kemudian masing-masing lembaga ini melakukan upaya
pembinaan, pemberdayaan dan pengembangan umat. Dalam menunjang aktivitas
dakwahnya, maka telah membentuk sebuah lembaga yang mengelola potensi ZIS dan
dioptimalkan untuk kepentingan umat.
Bahkan dalam dekade sepuluh tahun ini, mulai bermunculan dan
semakin berkembang pula berbagai lembaga amil zakat yang profesional dalam
penghimpunan, pengelolaan dan penyaluran ZIS. Diantaranya; Dompet Dhua’fa, Al-Azhar
Peduli Umat, PKPU, Rumah Zakat, dll.
Tentu potensi ini sangat berperan dalam mengatasi berbagai problematika
umat Islam Indonesia, seperti kemiskinan, anak-anak putus sekolah, minimnya
sarana pendidikan, banyaknya pengangguran, keterbatasan fasilitas bagi
masyarakat pedalaman, sehingga rentannya penyimpangan aqidah bahkan gerakan
pemurtadan dari sasaran empuk Kristenisasi, bahkan bencana alam, dll.
Oleh karena itu, banyak upaya da’wah bilisânil hâl yang bisa
dilakukan untuk memberikan solusi berbagai problematika tersebut, sekaligus
menunjang kamajuan dakwah. Diantaranya membuka lapangan pekerjaan, memberikan
pinjaman modal usaha, memberikan program beasiswa berprenstasi dan yang tidak
mampu, membangun masjid, membangun fasilitas sarana umum.
Sehingga dakwah yang dilakukan juga menyentuh persoalan ril
masyarakat. Agar kehadiran dakwah membawa solusi bagi masyarakat, bukan sebagai
doktrin yang membeban. Meminjam istilah bahasa Sunda, “kahartos tapi teu
karaos” (dapat dimengerti oleh pikiran tapi tidak terasa dalam memberikan
solusi problematika sosial ekonomi masyarakat). Sehingga nasihat dan taujih
yang diberikan akan lebih berpengaruh dengan aksi amal yang nyata. Oleh karena
itu harus adanya gerakan dakwah yang terorganisir, tersistematis dan terintegrasi.
Sejatinya, Islam memiliki berbagai prinsip terkait program
pengentasan kemiskinan. Diantaranya, mendorong kebijakan pemerataan dan
distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin. Terdapat tiga instrument
utama, yaitu atauran kepemilikan tanah, penerapan zakat, serta menganjurkan
qardhul hasan, infaq dan wakaf.[16]
Maka gerakan dakwah harus menyentuh dalam pemberdayaan dimensi tersebut, untuk
kemaslahatan umat.
Sebagai contoh, penulis mencoba menjelaskan upaya dakwah yang
dilakukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia –Alhamdulillah karena
penulis sebagai kader umat yang dibina dan berkhidmat di Dewan Dakwah, sehingga
mudah diuraikan-.
Sama dengan dengan organisasi atau lembaga dakwah lainnya, Dewan
Dakwah berupaya menghimpun diri untuk menyampaikan dakwah secara terorganisir
dalam upaya bina`an wa-difa`n dengan menitik beratkan pada al-amru
bil-ma’ruf an-nahyu ‘anil-munkar dalam ikhtiar menjaga umat dari
kemungkinan penyimpangan-penyimpangan aqidah dan pemurtadan serta melakukan
pengawalan syari’at sehingga terwujud
tatanan masyarakat Islami, dengan menekankan “da’wah bil-hikmah,
wal-mau’izhatil-hasanah, wal-mujâdalah billatî hiya ahsan”.[17]
Tahapan pencapaiannya dilakukan dengan cara; pertama, membentuk dan
meningkatkan kualitas kader du’ât yang professional, melalui kaderisasi yang
terencana dan terprogram, ditunjang dengan sarana dakwah yang memadai serta
manajemen yang professional. Kedua, terbentuknya jaringan kerjasama dan
koordinasi sesame umat kea rah terwujudnya amal jama’i dakwah yang mutualistis
dengan berbagai pihak. Ketiga, melakukan upaya difa`an, agar umar
terhindar dari kemungkinan penyimpangan akidah, pemurtadan, dan sebagainya.[18]
Sedangkan tahapan operasionalnya, dimulai dari perintisan, pembinaan dan
pengembangan.[19]
Dalam mewujudkan konsep tersebut, diantara upaya yang dilakukan
adalah melakukan usaha kaderisasi, dengan mendirikan STID Mohammad Natsir
sebagai kawah candradimuka persemaian kader du’ât yang memahami ilmu syar’I dan
melakukan gerakan dakwah yang professional. Dan Program Kaderisasi Ulama
setingkat S2 dan S3. Yang pada akhirnya para alumninya dikirimkan ke berbagai
daerah pedalaman untuk melakukan pembinaan umat yang minim para ustadz yang
mumpuni dan kreatif. Bahkan berdirinya hingga kini, Dewan telah mengirimkan
da’I ke berbagai daerah yang membutuhkan.
Untuk menjalankan program ini, maka tentu memerlukan biaya
operasional agar dapat berlangsung secara kontinu. Maka dibentuklah, LAZIS
(Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqah) Dewan Dakwah. Yang hakikatnya ibarat
generator dakwah, agar semua program
dapat berputar. Maka dilakukanlah perencanaan dan pelaksanaan yang baik dalam
mengelola lembaga tersebut. Dan keberadaan Lazis pun bukan sekedar sebagai
mesin uang yang mencari donator lalu disalurkan tanpa ada feedback dakwah. Oleh
karena menjalan profesi amil harus mampu membangun sinergisitas antara amil,
muzakki dan mustahiq-nya. Sehingga lazis tidak seperti prusahaan profit yang
berorientasi duit. Tidaknya mencari uang, namun juga mendapatkan orang, sebagai
muzakki yang mendapatkan pula sentuhan pembinaan Islam. Demikian pula mustahik,
bukan sekedar ikan yang diberika umpan, tapi juga diberikan kail dan
pancingnya, dengan sentuhan pembinaan dakwah, agar mereka menjadi nelayan yang
shaleh.
Hal inilah yang penulis rasakan dan lakukan pada saat ditugaskan
oleh Dewan Dakwah untuk berdakwah di Pulau Nias selama setahun. Seorang da’I
tidak hanya menjejali doktrin Islam, tapi memahami kebutuhan rohani dan
jasmaninya. Maka diberikanlah solusi social ekonomi, atas realitas minimnya
ekonomi masyarakat. Dan penulis sebagai da’i, disupport oleh Lazis Dewan Dakwah
dalam melakukan program usaha riil. Sehingga keberadaan dapat meringan beban
masyarakat dan bukan membebani. Sehingga dapat melakukan pemberdayaan dan
pengembangan umat.
Ketika dilapangan, penulis juga bertemu dengan du’ât lembaga dakwah
lain, diantaranya da’i Hidayatullah, da’i AMCF, da’i Al-Azhar, dan lain-lain.
Oleh karena itu, untuk menyaptukan gerakan dalam barisan dakwah agar
terorganisir dalam pembinaan dan pemberdayaan umat. Maka kami menghimpun diri
dan membentuk sebuah wadah yang bernama FOSDAN (Forum Silaturahim Da’i Nias).
Melalui wadah ini kami melakukan manajemen dakwah yang terencana. Misalnya
menerbitkan bulletin, mengadakan temu kaji ilmiah bersama masyarakat untuk
membahas hal-hal yang diperselisihkan di dalam kehidupan dan melakukan
pembinaan remaja pelajar dan mahasiswa. Bahkan sampai melakuka upaya advokasi
dan penyelamat muslimah yang berasal dari Nias yang akan dimurtadkan oleh suami
dan keluarganya. Sampai hal-hal strategis mengantisipasi upaya pemurtadan, dll.
G.
PENUTUP
Oleh karena itu usaha dakwah yang dilakukan harus integral,
berdimensi penanaman nilai-nilai keimanan yang kokoh dan melakukan upaya
pemberdayaan umat, yang ditopang etos kerja yang tingga agar, agar umat
memiliki izzah yang mulia di hadapan Allah dan manusia. oleh karena kehadiran
dakwah harus sebagai solusi bagi umat bukan beban atau pun masalah. Oleh
karenya, harus ada upaya yang terorganisir dan terencana dengan baik.
DAFTAR ISI :
Ø Adi Sasono, dkk, Solusi islam Atas Problematika Umat,
Jakarta: GIP, 1998, cet.1
Ø Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Pedoman Tatalaksana Organisasi
& Uraian Tugas Jabatan Pengurus dan Personil, Jakarta: PT. Abadi,
Ø Enjang AS, Drs. M.Ag., M.Si, Aliyudin, S.Ag., M.Ag. Dasar-dasar
Ilmu Dakwah-Pendekatan Filosofis dan Praktis, Bandung: Widya Padjajaran,
2009, cet.1
Ø Indonesia Magnifecence of Zakat (IMZ), Zakat dan Pembangunan:
Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraan Ummat, Jakarta: IMZ, 2011
Ø Misbah Malim, Drs. H. Lc, MSc, Dinamika Dakwah dalam
Perspektif Al-Quran dan As-Sunnah, Jakarta: Media Dakwah, 2005/1426, cet.1
Ø http://ramadan.detik.com /2011/07/29/dakwah-dan-pemberdayaan-umat
[1] Adi Sasono, dkk, Solusi islam Atas Problematika
Umat, Jakarta: GIP, 1998, cet.1, hal. 175
[2] Misbah Malim, Drs. H. Lc, MSc, Dinamika Dakwah dalam
Perspektif Al-Quran dan As-Sunnah, Jakarta: Media Dakwah, 2005/1426, cet.1,
Hal. 47-48
[3] Ibid
[4] ibid
[5] Enjang AS, Drs. M.Ag., M.Si, Aliyudin, S.Ag., M.Ag. Dasar-dasar
Ilmu Dakwah-Pendekatan Filosofis dan Praktis, Bandung: Widya Padjajaran,
2009, cet.1, hal. 64
[6] Ibid, hal. 63-64
[7] Misbah Malim, Drs. H. Lc, MSc, Dinamika Dakwah dalam
Perspektif Al-Quran dan As-Sunnah, Jakarta: Media Dakwah, 2005/1426, cet.1,
Hal.45-47 disarikan dari buku Dirâsah fi as-sirah, oleh DR. Imanuddin
Khalil, halaman 147-148)
[8] Ibid, hal.47
[9] Ibid, hal.50-51 disarikan dari “Fiqh Dakwah”
Jakarta; Media Dakwah, hal.204-215
[10] Enjang AS, Drs. M.Ag., M.Si, Aliyudin, S.Ag., M.Ag. Dasar-dasar
Ilmu Dakwah-Pendekatan Filosofis dan Praktis, Bandung: Widya Padjajaran,
2009, cet.1, hal.61
[11] Ibid, hal.61
[12] Ibid, hal.61-62
[13] Ibid
[14] Ibid, hal.63-64
[15] http://ramadan.detik.com
/2011/07/29/dakwah-dan-pemberdayaan-umat
[16] Indonesia Magnifecence of Zakat (IMZ), Zakat dan
Pembangunan: Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraan Ummat, Jakarta: IMZ, 2011,
cet.2, hal. 52
[17] Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Pedoman
Tatalaksana Organisasi & Uraian Tugas Jabatan Pengurus dan Personil,
Jakarta: PT. Abadi, 2008, cet.1, hal. 11
[18] Ibid, hal. 22