Laman

Rabu, 27 Februari 2013

DAKWAH BILISANIL HAL; USAHA PEMBERDAYAAN UMMAT





DAKWAH BILISANIL HAL;
USAHA PEMBERDAYAAN UMMAT

Oleh : Muhammad Zaini, S.Kom.I
Dosen : Prof. DR. M. Yunan Yusuf
Mata Kuliah : Sejarah dan Perkembangan Ilmu Dakwah
Sabtu, 28 Januari 2012

Pascasarjana Magister Studi Islam
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYYAH (UIA) JAKARTA


A.    PENDAHULUAN
     Apabila kita men-tadabburi Al-Quran dan As-Sunnah, maka sesungguhnya kita akan mengetahui bahwa dakwah memiliki peran dan fungsi yang utama, sentral, strategis dan menentukan. Keindahan dan kesesuaian Islam dengan perkembangan zaman, baik dalam sejarah maupun praktiknya, sangat ditentukan oleh upaya dan gerakan dakwah yang dilakukan oleh umatnya.[1] Melalui dakwah pula Rasulullah Muhammad Saw, mampu melakukan perubahan terhadap kehidupan manusia, dari tradisi jahiliyah, menjadi manusia yang berperadaban. Namun realitas hari ini, sebagian umat sudah semakin jauh dari nilai-nilai Islam, bahkan telah terjadi krisis kehidupan yang multidimensi, terutama krisis spiritual (ruhiyah). Jauh dari keimanan dan ketaatan, justru akrab dengan kemaksiatan, bahkan berada pada kondisi kemiskinan dan kemelaratann.
Namun di sisi lain, jika kita cermati, dewasa ini dakwah pun semakin subur, namun belum mampu melakukan perubahan yang signifikan. Mungkin dakwah yang disampaikan hanya sebatas ucapan, pelepas kewajiban atau melahirkan totonan bukan tuntunan. Mungkin belum mengena apa yang menjadi kebutuhan ril dari apa yang dihadapi umat. 
      Oleh karena itu, dakwah sejatinya harus menjadi solusi, yang dilakukan dengan pendekatan yang integral, sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah Saw. Melihat realitas yang dihadapi umat Islam, maka kita semua perlu mengambil bagian dan meningkatkan ikhtiar dakwah secara serius. Diantara gerakan dakwah perlu kita kembangkan, dengan pendekatan bilisanil hal, usaha dan upaya pemberdayaan ekonomi umat, melalui perencanaan yang terorganisir sesuai kebutuhan umat. Namun demikian kita tidak membenturkan atau melakukan dikhotomi dengan pendekatan dakwah berupa lisan, dalam pengertian tabligh, ceramah atau khutbah. Akan tetapi bagaimana upaya gerakan dakwah kita saling melengkapi, menjadi bagian terpadu yang tidak terpisah, sekaligus mampu memberikan solusi dari kebutuhan umat yang dihadapi, agar gerakan dakwah membawa perubahan yang signifikan, menuju kehidupan Islami yang diridhai Allah Swt. 
    Oleh karenanya, dalam kesempatan ini, penulis mencoba untuk membuat suatu makalah dengan pembahasan yang berjudul; “Dakwah Bilisanil Hal; Usaha Pemberdayaan Ummat.

B.     PENGERTIAN DAKWAH BILISANIL HAL
Secara etimologis Dakwah bilisanail-hal merupakan penggabungan dari tiga kata, yaitu kata da’wah, lisân dan al-hâl. Kata da’wah berasal dari akar kata (da’a, yad’u, da’watan) yang berarti memanggil, menyeru. Kata lisan (lisan) berate bahasa, sedangkan kata al-hâl berarti hal atau keadaan. Lisânul-hal mempunyai arti yang menunjukkan realitas sebenarnya. Jika ketiga kata tersebut digabungkan, maka da’wah bilisânil-hâl mengandung arti “memanggil, menyeru dengan bahasa keadaan” atau menyeru, mengajak dengan perbuatan nyata. Pengertian ini sejalan dengan ungkapan hikmah: lisânul-hâl afshahu min lisânil maqâl (bahasa keadaan lebih fasih (berpengaruh) disbanding bahasa lidah).[2]
Secara terminologis, dakwah mengandung pengertian; mendorong manusia agar berbuat kebajikan dan menurut kepada petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagiaan dania dan akhirat”.[3]
Dengan demikian yang dimaksud dengan da’wah bilisânil-hâl adalah; “memanggil, menyeru ke jalan Allah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat dengan menggunakan bahasa keadaan manusia yang didakwahi”, atau “memanggil, menyeru ke jalan Allah untuk kebahagiaan manusioa di dunia dan akhirat dengan perbuatan nyata, yang sesuai dengan keadaan manusia”. Bahasa keadaan dalam konteks da’wah bilisânil-hâl adalah segala hal yang berhubungan dengan keadaan mad’u baik fisiologis maupun psikologis. Prof. Dr. Yunan Yusuf dalam bukunya “dakwah bil hal”, mengungkapkan bahwah da’wah bilisânil-hâldipergunakan untuk merujuk kegiatan dakwah melalui aksi atau tindakan atau perbuatan nyata.[4]
            Istilah lain lain dalam pengertian da’wah bilisânil-hâl dalam kajian ilmu dakwah semakna dengan da’wah bi-ahsanil-‘amal[5], yang berarti berdakwah dengan cara sebaik-baiknya amal atau dengan pendekatan yang terbaik.
            Pembahasan da’wah bilisânil-hâl dalam kajian ilmu dakwah bersandingan dengan pengertian da’wah bi-ahsanil-‘qawl, yang bermakna berdakwah dengan cara sebaik-baiknya perkataan atau dengan pendekatan yang terbaik. Kedua istilah ini merupakan deskripsi dari aspek pendekatan dakwah, yang memiliki bentuk dakwah dan focus kegiatan dakwah. Untuk lebih jelasnya dapat dipahami dari tabel berikut ini:[6]
PENDEKATAN DAKWAH
(Pohon)
BENTUK DAKWAH
(Dahan)
FOKUS KEGIATAN DAKWAH
(Ranting)




Da’wah Bi-Ahsanil-‘Qawl
Tablîgh Islam (transmisi dan difusi)
Khithâbah dîniyyah
Khithâbah ta’tsîriyah
Kitâbah
Futûhât
Seni Islam

Irsyâd Islam (internalisasi dan transmisi)
Ibda bi nafs; dzikir al-lâh, du’â wiqâyah al-nafs, tazkiyyah al-nafs, shalat dan shaum.
Ta’lîm, taujîh, mau’izhah dan nashihah.
Istisyfâ.







Da’wah Bi-Ahsanil-‘Amal
Tadbîr Islam (transformasi=pelembagaan dan pengelolaan kelembagaan Islam)
Pengelolaan Majelis Ta’lim
Pengelolaan Masjid
Pengelolaan Organisasi Kemasyarakatan
Pengelolaan Organisasi Politik Islam
Pengelolaan Haji, Umrah Dan Ziarah (HUZ)
Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS)
LSM Dakwah

Tathwîr/ Tamkîn Islam (transformasi=pemberdayaan)
Pemberdayaan Sumber Daya Insani (SDI)
Pemberdayaan Lingkungan Hidup
Pemberdayaan Ekonomi Umat
                       
C.    TELADAN DAKWAH BILISANIL HAL
Rasulullah Saw adalah suri tauladan kita, beliau telah menyampai risalah Islam dengan pendekatan yang kongkret dan sentuhan yang membawa perubahan umat. Oleh karena itu, dalam memahami prinsip da’wah bilisânil-hâl kita dapat meneladaninya dari sirah kehidupan pada masa Nabi Muhammad Saw.
Dalam sirah nabawiyah, diterangkan bahwa ketika Rasulullah saw dan shabat tercintanya Abu Bakar ash-Shiddiq, telah sampai di kota Madinahtepatnya di satu desa Quba. Disanalah Rasul disambut dengan segala suka cita dan kegembiraan, karena orang yang dicintai mereka telah dating. Segala bentuk penghormatan dan kecintaan, mereka ungkapkan dengan cara masing-masing. Ada yang membawa makanan, ada yang membawa Rasul dan Abu Bakar agar menginap di rumah mereka. Semua penghormatan itu disikapi oleh rasul dengan bijaksana, dengan tidak membuat kecilnya hati para sahabat anshar yang lain.
Tentang ajakan menginap,Rasulullah memecahkannya dengan cara yang bijaksana. Beliau mengatakan, “terima kasih atas segala penghormatan yang kalian sampaikan kepada kami, tetapi biarlah si Qoshwa’ (onta putih kesayangan Rasul) yang menentukannya. Rasul menyuruh qoshwa’ berjalan dan kemudian Qoshwa’ berhenti di sebidang tanah milik anak yatim dari bani najjar di bawah asuhan Mu’az bin Afra’. Akhirnya sebidang tanah itu dibeli oleh rasul atas bantuan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan disitulah para Rasul dan para shabat membangun masjid pertama. Semua sahabat turun tangan dengan antusias melakukan apa yang bias dilakukan, mengumpulkan batu, mencari pelepah kurma untuk dinding dan sebagainya, termasuk Rasulullah sendiri. Namun karena rasa cinta kepada Rasul, seorang sahabat mencegah Rasulullah agar jangan mengikut serta mengangkat batu. Namun rasulullah berkata; “Ya sahabatku, batu yang ini biarlah aku yang mengangkatnya, dan kamu mencari batu yang lain”. Kisah ini menunjukkan betapa rasulullah Saw ingin memperlihatkan bahwa seorang pemimpin harus senantiasa bersama umat, sakit dan senang. Karena kemasygulan sahabat akan kisah ini, seorang penyair melukiskannya seperti berikut;
Betapa kita hendak duduk menganggur sedangkan Rasul asyik bekerja, sungguh itu adalh perbuatan sesat, yang menyesatkan diri sendiri. Tidak ada arti hidup (dunia) ini, kecuali hidup diakhirat nanti. Ya Allah beri Rahmat kaum Anshar dan kaum Muhajirin”.
Kemudian rasulullah membalas; “Benar, tidak ada rtinya hidup di dunia ini, kecuali hidup di akhirat. Ya Allah, kucurkan rahmat kepada kaum Muhajirin dan kaum Anshar”.[7]
Perkataan rasul di atas, “yang ini biarlah aku yang mengangkat, dan kamu cari yang lain”, menunjukkan betapa rasul ingin memperlihatkan bahwa metude penggugah orang lain dengan cara keteladanan adal sesuatu yang sangat ampuh (da’wah bilisânil-hâl).[8]
Kemudian langkah kongret Rasulullah Swt dalam da’wah bilisânil-hâl setelah sampai di Madinah adalah mendirikan masjid, yang kita kenal dengan masjid Nabawi, yang berfungsi sebagai pusat Tadbîr Islam (pelayanan umat Islam) dan Tahtwîr/ Tamkîn Islam (pemberdayaan umat Islam), selain berfungsi sebagai sebagai tablîghul Islam (menyampaikan ajaran Islam/Pengajaran) dan Irsyâdul Islam (bimbingan Islam/pembinaan).
da’wah bilisânil-hâl yang dihadapkan ke luar (non-muslim) oleh Rasulullah Saw untuk pertama kalinya adalah ketika terjadi perang hudaibiyah, dimana Rasul dan para sahabatnya tidak diizinkan haji dan umrah pada tahun itu. Ketika para sahabat merasa keberatan untuk mengalah kepada orang Quraisy dan enggan untuk bertahallul dan mencukur rambut. Rasul terlebih dahulu melakukannya tanpa berbicara, dan hal itu atas sarannya Ummi Salamah. Dan akhirtnya satu persatu para sahabat mengikuti rasul. Pada tahun berikutnya Rasul dengan sekitar 2000 orang sahabat melakukan umtrah pertama yang dinamakan dengan “Umratul Qadha”, dengan meninggalkan senjata tajam diluar Mekah, mereka memperlihatkan keteladanan, kekompakan, kerapian, kebersihan dan kebersamaan dalam segalanya, dan hal itu merupakan daya tarik yang sangat baik bagi penduduk mekkah, sehingga banyak diantara mereka menyatakan diri untuk ikut dengan agama yang dibawa oleh Nabi[9]

D.    APLIKASI DAKWAH BILISANIL HAL; USAHA PEMBERDAYAAN UMAT
Dalam pembahasan ini, penulis akan mendeskripsikan Aplikasi Dakwah Bilisanil Hal; Usaha Pemberdayaan Umat dalam aspek Tadbîr Islam (pelayanan umat Islam) dan Tathwîr/ Tamkîn Islam (pemberdayaan umat Islam), secara global.
a.   Tadbîr Islam (pelayanan umat Islam)
Tadbîr menurut bahasa berarti pengurusan, pengelolaan (manajemen). Menurut istilah adalah kegiatan dakwah dengan pentransformasian ajaran Islam melalui kegiatan aksi amal shaleh berupa penataan lembaga-lembaga dakwah dan kelembagaan Islam. Fungsi-fungsi manajemen merupakan karakteristik menonjol dalam dakwah tadbîr. Adanya oraganisasi dakwah sebagai wadah, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi dakwah, diantaranya aspek-aspek yang terintegrasi dan tersistematisasi dalam dakwah.[10]
            Tadbîr Islam, di dalamnya berisikan pelembagaan dan pengelolaan kelembagaan Islam, seperti majelis ta’lim, takmir masjid, organisasi kemasyarakatan Islam, organisasi siyasah islami, wisata religius sepeti HUZ (Haji, Umrah dan Ziarah), sumber dana Islam berupa ZIS (Zakat, Infaq dan shadaqah) dan LSM Dakwah. Kegiatan d atas termasuk pada wilayah Manajemen Dakwah (MD).[11]
            Pengertian Tadbîr dalam formulasi sebagai transformasi pada dasarnya mengacu pada penjelasan yudabbiru. Kata ini dimuat dalam beberapa ayat Al-Quran diantaranya dalam QS. Yunus [10]: 31, QS. Ar-ra’du [13]: 2 dan QS. As-Sajdah [32]: 5.[12]
             
b.   Tathwîr/ Tamkîn Islam (pemberdayaan umat Islam)
Tathwîr menurut bahasa berarti pengembangan. Menurut istilah berarti pengembangan dakwah dengan pentransformasian ajaran Islam melalui aksi amal shaleh, berupa pemberdayaan (taghyîr, tamkîn) sumber daya manusia, sumber daya lingkungan, ekonomi umat dengan mengembangkan pranata-pranata social, ekonomi dan lingkungan atau pengembangan kehidupan muslim dalam aspek-aspek kultur universal. Dakwah  Tathwîr diantaranya dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan pemberdayaan umat, pendampingan desa tertinggal, pengembangan ekonomi syariah, pengadaan sarana-sarana pendidikan, keagamaan dan lain-lain.[13]
Tathwîr identik dengan tamkîn dalam arti pembengunan masyarakat, di dalammnya berisikan pemberdayaan SDI (Sumber Daya Insani), lingkungan hidup dan ekonomi umat, disebut pula sebagai ilmu Pengembangan Masyarakat Islam (PMI). Pengertian tamkîn dalam formulasi sebagai transformasi pada dasarnya mengacu pada penjelasan kata makkana. Kata tamkîn dar kata makkana sebagaimana tersurat di dalam Al-Quran; QS. Al-A’raf [7]: 10 dan QS. Al-Kahfi [18]: 84.[14]

E.     UPAYA PROSES PEMBERDAYAAN UMAT
Menurut M Yunan Yusuf, bila kita ingin melakukan proses pemberdayaan umat melalui dakwah Islam, maka sekurang-kurangnya ada lima langkah isu dakwah yang harus diambil, yaitu:
1.    Materi dakwah sebagai ajakan atau seruan kepada Islam dan petunjuk Allah harus dikemas secara sistemik dalam pemahaman setiap individu dan masyarakat muslim. Pemahaman sistemik ini dapat dibangun melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam secara holistik dan komprehensif dari berbagai aspek ajaran Islam yang mencakup aspek aqidah, aspek ibadah, aspek akhlak, dan aspek mu'amalah. Selama ini pemahaman tentang berbagai aspek ajaran Islam tersebut ditangkap secara parsial dan terpilah-pilah, tidak utuh.
Secara sistemik keempat dimensi ajaran tersebut seharusnya merupakan kesatuan dan kebulatan utuh, yang terpisahkan hanya dalam tataran diskursus akademik, bukan dalam tataran praktis. Oleh sebab itu, adalah suatu kezaliman bila seseorang berbuat semata-mata hanya atas perimbangan halal dan haram dengan mengabaikan sama sekali aspek al-husn (kebaikan) dan aspek al-qubh (keburukan), atau menyingkirkan sama sekali sisi al-mahmudah (terpuji) dan al-mazmumah (tercela).
2.    Dakwah pada hakikatnya adalah proses yang menghidupkan atau yang memberdayakan, baik terhadap individu maupun masyarakat, maka harus ada upaya untuk melakukan itu. Di era otonomi daerah seperti sekarang ini, dakwah harus ditujukan kepada upaya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat secara bersama. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui upaya-upaya menumbuhkan kreatifitas untuk meningkatkan taraf hidup, baik secara individu maupun keluarga, atau secara bersama-sama.
Inilah yang disebut dengan konsep dakwah bil hal, melalui pengembangan industri kecil dan menengah, yang dalam pertumbuhan konkritnya ditunjukkan dengan pengembangan Baitul Mal wat Tamwil di sentra-sentra kegiatan pengajian dan majlis taklim. Di samping itu, juga melalui penumbuhan gerakan menyimpan dan menabung secara massal, yang produktivitasnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup tersebut.
3.    Merumuskan materi dakwah yang berkaitan dengan ajakan dan dorongan kepada masyarakat agar berpartisipasi dalam proses pembangunan daerah dan menggali potensi daerah sendiri untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat daerah tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di daerah, di samping memperbesar potensi daerah tersebut untuk mengembangkan diri, yang kemudian diharapkan bisa mengatasi problema yang selalu timbul dalam bentuk kerentanan hubungan antar etnis, polemik pencuatan issu putera daerah, dan sebagainya.
Peningkatan kualitas SDM menjadi sangat strategis dikemas dalam tema-tema dakwah bila dikaitkan dengan tentangan ke depan.
4.    Dakwah tampil dengan wajah sejuk dan damai dengan melalui penekanan peningkatan kualitas akhlak mulia yang termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Secara esensial dakwah semestinya muncul dengan pendekatan mengajak, bukan menghakimi, apalagi bernuansa provokatif. Tema-tema yang berkaitan dengan ukhuwah Islamiyah atau kesetiakawanan sosial haruslah menjadi agenda utama. Amar makruf dan Nahyi Munkar sebagai bagian esensial dakwah perlu ditampilkan secara ramah dan menyejukkan.
Dengan demikian, esensi dari diturunkannya Islam melalui pengutusan Rasulullah SAW untuk menciptakan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin) bukan berhenti pada slogan. Ia haruslah terwujud dalam kenyataan. Dengan kemasan dakwah seperti itu, berbagai problema yang timbul di tengah masyarakat dapat diatasi dengan pendekatan persuasif dan penuh kedamaian.
5.    Dakwah juga harus berbicara tentang tema memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Kesadaran akan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia harus selalu disegar-bugarkan, harus ditumbuh-suburkan secara terus menerus. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa peletak dasar dari berdirinya Republik ini pada hakikatnya berdiri di atas kesadaran tersebut.[15]


F.     URGENSI DAN APLIKASI DAKWAH BILISANIL HAL DALAM DINAMIKA KEHIDUPAN
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan da’wah bilisânil hâl dalam dimensi Tadbîr dan tathwîrul Islâm, dengan stressing pengelolaan lembaga ZIS dalam menunjang perjuangan dakwah dan pemberdayaan serta pengembangan umat, yang dihubungkan dengan pengalaman penulis.
Kehadiran Rasulullah Muhammad Saw membawa perubahan fundamental bagi bangsa Arab dan tentunya untuk kehidupan seluruh umat manusia. Beliau menyadari betapa umat saat itu pada dasarya membutuhkan dakwa Islam dan beliau pun melaksanakannya dengan penuh keihklasanan, agar kehidupan manusia mendapat hidayah dan taufik Allah Swt serta menjalan nilai-nilai yang Islami. Ikhtiar beliau telah berhasil mengokohkan pondasi tauhid dengan manifestasi ketaatan dalam beribadah kepada Allah Swt, sehingga terbentuklah barisan pendukung dakwah yang diapresiasi oleh allah Swt sebagai generasi khairu ummah (generasi ummat yang terbaik). Sehingga Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, di bawah naungan risalah Islam.
Tentu keberhasilan Rasulullah Saw, karena mampu dan optimal dalam melakukan pendekatan dakwah secara integral. Tidak sebatas ucapan perintah dan mengajak, namun beliau memberikan keteladan yang baik (uswah hasanah) sehingga mudah dipahami dan diamalkan.
 Diantara kreasi dakwah Rasulullah Saw adalah mampu menanamkan kesadaran umat Islam untuk peduli terhadap orang lain dalam segala hal, khususnya dalam pemerataan keadilan dan kesejahteraan social, berupa gerakan penunaian zakat, infaq dan shadaqah, dalam mendukung pengembangan dakwah.
Di dalam sirah nabawiyah kita dapat melihat sebagian sahabat Rasulullah Saw yang selalu gemar menginfakkan hartanya di jalan Allah Swt, untuk mendukung dakwah. Baik untuk membebaskan para budak yang telah memeluk Islam, maupun memberikan makan dan minum para mustadh’afin serta membangun sarana umum. Diantara para dermawan saat itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddik, Utsman Bin Affan, Abdurrahman Bin ‘Auf, bahkan istri beliau sendiri Khadijah, dan lain-lain. Kemudian pada masa khulafaurrasyidin, untuk mengelola potensi ZIS, ghanimah dan Jizyah, maka didirikanlah badan khus yang bernama baitul mâl, agar memudahkan dalam penghimpunan dan penyaluran.
Oleh karena itu, dalam menunjang keberlangsungan dan ekspansi dakwah, maka keberadaan para dermawan dan ZIS-nya sangat dibutuhkan. Oleh karenanya perlu dikelola oleh lembaga khusus yang professional. Apa lagi adanya realitas kesenjangan umat Islam; antara para aghniya` dan fuqara`.
Jika kita merujuk pada teori pendekatan dakwah di atas, dalam konteks ke-Indonesiaan kesadaran dakwah telah terorganisir dengan baik dalam suatu wadah oraganisasi gerakan dakwah, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Washliyah, termasuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan lain-lain. Kemudian masing-masing lembaga ini melakukan upaya pembinaan, pemberdayaan dan pengembangan umat. Dalam menunjang aktivitas dakwahnya, maka telah membentuk sebuah lembaga yang mengelola potensi ZIS dan dioptimalkan untuk kepentingan umat.
Bahkan dalam dekade sepuluh tahun ini, mulai bermunculan dan semakin berkembang pula berbagai lembaga amil zakat yang profesional dalam penghimpunan, pengelolaan dan penyaluran ZIS. Diantaranya; Dompet Dhua’fa, Al-Azhar Peduli Umat, PKPU, Rumah Zakat, dll.
Tentu potensi ini sangat berperan dalam mengatasi berbagai problematika umat Islam Indonesia, seperti kemiskinan, anak-anak putus sekolah, minimnya sarana pendidikan, banyaknya pengangguran, keterbatasan fasilitas bagi masyarakat pedalaman, sehingga rentannya penyimpangan aqidah bahkan gerakan pemurtadan dari sasaran empuk Kristenisasi, bahkan bencana alam, dll.
Oleh karena itu, banyak upaya da’wah bilisânil hâl yang bisa dilakukan untuk memberikan solusi berbagai problematika tersebut, sekaligus menunjang kamajuan dakwah. Diantaranya membuka lapangan pekerjaan, memberikan pinjaman modal usaha, memberikan program beasiswa berprenstasi dan yang tidak mampu, membangun masjid, membangun fasilitas sarana umum.
Sehingga dakwah yang dilakukan juga menyentuh persoalan ril masyarakat. Agar kehadiran dakwah membawa solusi bagi masyarakat, bukan sebagai doktrin yang membeban. Meminjam istilah bahasa Sunda, “kahartos tapi teu karaos” (dapat dimengerti oleh pikiran tapi tidak terasa dalam memberikan solusi problematika sosial ekonomi masyarakat). Sehingga nasihat dan taujih yang diberikan akan lebih berpengaruh dengan aksi amal yang nyata. Oleh karena itu harus adanya gerakan dakwah yang terorganisir, tersistematis dan terintegrasi.
Sejatinya, Islam memiliki berbagai prinsip terkait program pengentasan kemiskinan. Diantaranya, mendorong kebijakan pemerataan dan distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin. Terdapat tiga instrument utama, yaitu atauran kepemilikan tanah, penerapan zakat, serta menganjurkan qardhul hasan, infaq dan wakaf.[16] Maka gerakan dakwah harus menyentuh dalam pemberdayaan dimensi tersebut, untuk kemaslahatan umat.
Sebagai contoh, penulis mencoba menjelaskan upaya dakwah yang dilakukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia –Alhamdulillah karena penulis sebagai kader umat yang dibina dan berkhidmat di Dewan Dakwah, sehingga mudah diuraikan-.
Sama dengan dengan organisasi atau lembaga dakwah lainnya, Dewan Dakwah berupaya menghimpun diri untuk menyampaikan dakwah secara terorganisir dalam upaya bina`an wa-difa`n dengan menitik beratkan pada al-amru bil-ma’ruf an-nahyu ‘anil-munkar dalam ikhtiar menjaga umat dari kemungkinan penyimpangan-penyimpangan aqidah dan pemurtadan serta melakukan pengawalan syari’at  sehingga terwujud tatanan masyarakat Islami, dengan menekankan “da’wah bil-hikmah, wal-mau’izhatil-hasanah, wal-mujâdalah billatî hiya ahsan”.[17] Tahapan pencapaiannya dilakukan dengan cara; pertama, membentuk dan meningkatkan kualitas kader du’ât yang professional, melalui kaderisasi yang terencana dan terprogram, ditunjang dengan sarana dakwah yang memadai serta manajemen yang professional. Kedua, terbentuknya jaringan kerjasama dan koordinasi sesame umat kea rah terwujudnya amal jama’i dakwah yang mutualistis dengan berbagai pihak. Ketiga, melakukan upaya difa`an, agar umar terhindar dari kemungkinan penyimpangan akidah, pemurtadan, dan sebagainya.[18] Sedangkan tahapan operasionalnya, dimulai dari perintisan, pembinaan dan pengembangan.[19]
Dalam mewujudkan konsep tersebut, diantara upaya yang dilakukan adalah melakukan usaha kaderisasi, dengan mendirikan STID Mohammad Natsir sebagai kawah candradimuka persemaian kader du’ât yang memahami ilmu syar’I dan melakukan gerakan dakwah yang professional. Dan Program Kaderisasi Ulama setingkat S2 dan S3. Yang pada akhirnya para alumninya dikirimkan ke berbagai daerah pedalaman untuk melakukan pembinaan umat yang minim para ustadz yang mumpuni dan kreatif. Bahkan berdirinya hingga kini, Dewan telah mengirimkan da’I ke berbagai daerah yang membutuhkan.
Untuk menjalankan program ini, maka tentu memerlukan biaya operasional agar dapat berlangsung secara kontinu. Maka dibentuklah, LAZIS (Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqah) Dewan Dakwah. Yang hakikatnya ibarat generator dakwah, agar  semua program dapat berputar. Maka dilakukanlah perencanaan dan pelaksanaan yang baik dalam mengelola lembaga tersebut. Dan keberadaan Lazis pun bukan sekedar sebagai mesin uang yang mencari donator lalu disalurkan tanpa ada feedback dakwah. Oleh karena menjalan profesi amil harus mampu membangun sinergisitas antara amil, muzakki dan mustahiq-nya. Sehingga lazis tidak seperti prusahaan profit yang berorientasi duit. Tidaknya mencari uang, namun juga mendapatkan orang, sebagai muzakki yang mendapatkan pula sentuhan pembinaan Islam. Demikian pula mustahik, bukan sekedar ikan yang diberika umpan, tapi juga diberikan kail dan pancingnya, dengan sentuhan pembinaan dakwah, agar mereka menjadi nelayan yang shaleh.
Hal inilah yang penulis rasakan dan lakukan pada saat ditugaskan oleh Dewan Dakwah untuk berdakwah di Pulau Nias selama setahun. Seorang da’I tidak hanya menjejali doktrin Islam, tapi memahami kebutuhan rohani dan jasmaninya. Maka diberikanlah solusi social ekonomi, atas realitas minimnya ekonomi masyarakat. Dan penulis sebagai da’i, disupport oleh Lazis Dewan Dakwah dalam melakukan program usaha riil. Sehingga keberadaan dapat meringan beban masyarakat dan bukan membebani. Sehingga dapat melakukan pemberdayaan dan pengembangan umat.
Ketika dilapangan, penulis juga bertemu dengan du’ât lembaga dakwah lain, diantaranya da’i Hidayatullah, da’i AMCF, da’i Al-Azhar, dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk menyaptukan gerakan dalam barisan dakwah agar terorganisir dalam pembinaan dan pemberdayaan umat. Maka kami menghimpun diri dan membentuk sebuah wadah yang bernama FOSDAN (Forum Silaturahim Da’i Nias). Melalui wadah ini kami melakukan manajemen dakwah yang terencana. Misalnya menerbitkan bulletin, mengadakan temu kaji ilmiah bersama masyarakat untuk membahas hal-hal yang diperselisihkan di dalam kehidupan dan melakukan pembinaan remaja pelajar dan mahasiswa. Bahkan sampai melakuka upaya advokasi dan penyelamat muslimah yang berasal dari Nias yang akan dimurtadkan oleh suami dan keluarganya. Sampai hal-hal strategis mengantisipasi upaya pemurtadan, dll.
G.    PENUTUP
Oleh karena itu usaha dakwah yang dilakukan harus integral, berdimensi penanaman nilai-nilai keimanan yang kokoh dan melakukan upaya pemberdayaan umat, yang ditopang etos kerja yang tingga agar, agar umat memiliki izzah yang mulia di hadapan Allah dan manusia. oleh karena kehadiran dakwah harus sebagai solusi bagi umat bukan beban atau pun masalah. Oleh karenya, harus ada upaya yang terorganisir dan terencana dengan baik.



DAFTAR ISI :
Ø Adi Sasono, dkk, Solusi islam Atas Problematika Umat, Jakarta: GIP, 1998, cet.1
Ø Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Pedoman Tatalaksana Organisasi & Uraian Tugas Jabatan Pengurus dan Personil, Jakarta: PT. Abadi,
Ø Enjang AS, Drs. M.Ag., M.Si, Aliyudin, S.Ag., M.Ag. Dasar-dasar Ilmu Dakwah-Pendekatan Filosofis dan Praktis, Bandung: Widya Padjajaran, 2009, cet.1
Ø Indonesia Magnifecence of Zakat (IMZ), Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraan Ummat, Jakarta: IMZ, 2011
Ø Misbah Malim, Drs. H. Lc, MSc, Dinamika Dakwah dalam Perspektif Al-Quran dan As-Sunnah, Jakarta: Media Dakwah, 2005/1426, cet.1
Ø http://ramadan.detik.com /2011/07/29/dakwah-dan-pemberdayaan-umat



[1] Adi Sasono, dkk, Solusi islam Atas Problematika Umat, Jakarta: GIP, 1998, cet.1, hal. 175
[2] Misbah Malim, Drs. H. Lc, MSc, Dinamika Dakwah dalam Perspektif Al-Quran dan As-Sunnah, Jakarta: Media Dakwah, 2005/1426, cet.1, Hal. 47-48
[3] Ibid
[4] ibid
[5] Enjang AS, Drs. M.Ag., M.Si, Aliyudin, S.Ag., M.Ag. Dasar-dasar Ilmu Dakwah-Pendekatan Filosofis dan Praktis, Bandung: Widya Padjajaran, 2009, cet.1, hal. 64
[6] Ibid, hal. 63-64
[7] Misbah Malim, Drs. H. Lc, MSc, Dinamika Dakwah dalam Perspektif Al-Quran dan As-Sunnah, Jakarta: Media Dakwah, 2005/1426, cet.1, Hal.45-47 disarikan dari buku Dirâsah fi as-sirah, oleh DR. Imanuddin Khalil, halaman 147-148)
[8] Ibid, hal.47
[9] Ibid, hal.50-51 disarikan dari “Fiqh Dakwah” Jakarta; Media Dakwah, hal.204-215
[10] Enjang AS, Drs. M.Ag., M.Si, Aliyudin, S.Ag., M.Ag. Dasar-dasar Ilmu Dakwah-Pendekatan Filosofis dan Praktis, Bandung: Widya Padjajaran, 2009, cet.1, hal.61

[11] Ibid, hal.61
[12] Ibid, hal.61-62
[13] Ibid
[14] Ibid, hal.63-64
[15] http://ramadan.detik.com /2011/07/29/dakwah-dan-pemberdayaan-umat
[16] Indonesia Magnifecence of Zakat (IMZ), Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraan Ummat, Jakarta: IMZ, 2011, cet.2, hal. 52
[17] Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Pedoman Tatalaksana Organisasi & Uraian Tugas Jabatan Pengurus dan Personil, Jakarta: PT. Abadi, 2008, cet.1, hal. 11
[18] Ibid, hal. 22
[19] Ibid, hal. 22-24



















1 komentar:

  1. How To Play Baccarat - FEBCasino.com
    If you're looking for 온카지노 the best online casino to play Baccarat online then Baccarat is right for 인카지노 you! As you've seen, Baccarat is the 바카라 favorite card game to

    BalasHapus